iklan

KARAKTERISTIK HUBUNGAN HUKUM DALAM ASURANSI JASARAHARJA TERHADAP KLAIM KORBAN KECELAKAAN ANGKUTAN UMUM

KARAKTERISTIK HUBUNGAN HUKUM DALAM ASURANSI JASARAHARJA TERHADAP KLAIM KORBAN KECELAKAAN ANGKUTAN UMUM
Hilda Yunita Sabrie dan Rizky Amalia
hilda_sabrie@yahoo.co.id dan rizkyamalia07@gmail.com
Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Abstract
Neglected condition of public transportation sometimes is the main factor why traffic accident happens to public transportation. This causes many accident on land, water, even air public transportation, which in this case citizens are the victim. Government has laid out policy by providing PT Asuransi Jasaraharja as compulsory social insurance which is supposed to give compensation for public transportation’s victim in certain circumstances. However, not every citizens know their rights regarding the compensation given by PT Asuransi Jasarahardja when the traffic accident happens. Compensation has to go through particular procedure made by PT Asuransi Jasaraharja. Because if they dont, then the compensation cannot be given.
Key Words: Asuransi Jasaraharja, Compensation payment, Traffic accident, Compulsory Social Insurance
Abstrak
Kondisi angkutan umum yang ada tidak terawat kadangkala menjadi faktor utama terjadinya kecelakaan lalu lintas pada angkutan umum. Hal ini yang mengakibatkan hampir setiap tahun banyak terjadi kecelakaan angkutan umum baik darat, laut maupun udara, yang dalam hal ini masyarakatlah yang menjadi korban. Pemerintah sebenarnya telah membuat kebijakan dengan menyediakan PT Asuransi Jasaraharja sebagai asuransi sosial wajib yang memiliki fungsi memberikan uang ganti rugi kepada para korban kecelakaan lalu lintas dalam kondisi-kondisi tertentu. Namun belum semua masyarakat mengetahui hak-haknya terkait pembayaran ganti rugi yang diberikan PT Asuransi Jasaraharja apabila mereka mengalami kecelakaan lalu lintas. Tentu saja pemberian ganti rugi tersebut harus melalui prosedur yang telah di tentukan oleh pihak PT Asuransi Jasaraharja, karena jika tidak maka pembayaran ganti rugi tersebut tidak dapat di berikan.
Kata Kunci : Asuransi Jasaraharja, Pembayaran ganti rugi, kecelakaan lalu lintas dan Asuransi sosial wajib
Yuridika: 308 Volume 30, No. 3, Desember 2015
Pendahuluan
Manusia hidup tidak bisa terlepas antara satu dengan yang lainnya, karena manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan satu sama lainnya. Oleh karena itu, manusia membutuhkan manusia yang lain untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup tersebut, manusia memerlukan alat penunjang baik yang diperoleh sendiri maupun yang didapatkan dari fasilitas yang disediakan oleh orang lain. Salah satu hal yang menjadi kebutuhan manusia sehari-hari yaitu alat transportasi. Menurut Sukarto, transportasi adalah perpindahan dari suatu tempat ke tenpat lainnya dengan menggunakan alat pengangkutan baik yang digerakkan oleh tenaga manusia, hewan (kuda, sapi, kerbau) atau mesin. Adakalanya orang tidak bisa memenuhi sendiri kebutuhan alat transportasinya, lalu mereka menggunakan transportasi umum atau transportasi publik yang tersedia. Transportasi umum atau transportasi publik adalah seluruh alat transportasi saat penumpang tidak bepergian menggunakan kendaraannya sendiri.1
Untuk mendukung aktivitas kesehariannya, orang-orang memerlukan angkutan umum untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Angkutan umum yaitu salah satu media transportasi yang digunakan masyarakat secara bersama-sama dengan membayar tarif.2 Angkutan Umum berperan dalam memenuhi kebutuhan manusia akan pergerakan ataupun mobilitas yang semakin meningkat, untuk berpindah dari suatu tempat ke tempat lain yang berjarak dekat, menengah ataupun jauh. Angkutan umum juga berperan dalam pengendalian lalu lintas, penghematan bahan bakar atau energi, dan juga perencanaan & pengembangan wilayah.3 Esensi dari operasional angkutan umum adalah memberikan layanan angkutan yang baik dan layak bagi masyarakat dalam menjalankan kegiatannya, baik untuk masyarakat yang mampu memiliki kendaraan pribadi sekalipun (Choice), dan terutama bagi masyarakat yang terpaksa harus menggunakan angkutan umum
1 www.id.wikipedia.org, diakses pada tanggal 1 Juni 2015.
2 Ibid.
3 Warpani, 1990
Hilda Yunita Sabrie dan Rizky Amalia : Karakteristik Hubungan 309
(Captive). Ukuran pelayanan angkutan umum yang baik adalah pelayanan yang aman, cepat, murah, dan nyaman.4 Secara umum, ada 2 (dua) kelompok besar moda transportasi yaitu: (1) Kendaraan Pribadi (Private Transportation), yaitu: Moda transportasi yang dikhususkan untuk pribadi seseorang dan seseorang itu bebas memakainya ke mana saja, di mana saja dan kapan saja dia mau, bahkan mungkin juga dia tidak memakainya sama sekali (misal : mobilnya disimpan digarasi). Contoh kendaraan pribadi seperti: jalan kaki, sepeda untuk pribadi, sepeda motor untuk pribadi, mobil pribadi, kapal, pesawat terbang, dan kereta api yang dimiliki secara pribadi (jarang terjadi); dan (2) Kendaraan Umum (Public Transportation), yaitu: moda transportasi yang diperuntukkan buat bersama (orang banyak), kepentingan bersama, menerima pelayanan bersama, mempunyai arah dan titik tujuan yang sama, serta terikat dengan peraturan trayek yang sudah ditentukan dan jadwal yang sudah ditetapkan dan para pelaku perjalanan harus wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan - ketentuan tersebut apabila angkutan umum ini sudah mereka pilih. Contoh kendaraan umum seperti: ojek sepeda, sepeda motor, becak, bajaj, bemo, mikrolet, bus umum (kota dan antar kota), kereta api (kota dan antar kota), kapal feri, pesawat yang digunakan secara bersama.
Rata-rata orang di Indonesia menggunakan angkutan umum dalam kehidupan sehari-hari. Di Indonesia sudah banyak beragam angkutan umum baik yang disediakan oleh pemerintah maupun yang bekerja sama dengan pihak swasta. Angkutan umum yang dibahas dalam tulisan ini dibatasi pada angkutan umum yang dipergunakan di jalur darat. Moda transportasi darat itu meliputi antara lain bus, kereta api, taxi, angkutan umum, dan sebagainya. Adanya beberapa pilihan tersebut memudahkan setiap orang untuk memilih angkutan umum mana yang nyaman untuk dipergunakan.
Setiap orang hidup pasti mempunyai risiko dalam hidupnya. Risiko tersebut tidak bisa diketahui dengan pasti waktu terjadinya. Untuk itu, diperlukan lembaga
4 Ibid.
Yuridika: 310 Volume 30, No. 3, Desember 2015
yang mampu menanggung sebagian dari risiko yang mungkin dialami oleh setiap orang. Begitu pula ketika menggunakan angkutan umum, setiap orang tidak tahu apakah nantinya mereka mendapatkan risiko atau tidak terhadap penggunaan angkutan umum tersebut. Terlebih sekarang ini banyak didapati kecelakaan angkutan umum pada lalu lintas jalan. Beragam kecelakaan pernah terjadi dan frekuensi kecelakaan pada lalu lintas jalan sering terjadi pada angkutan umum. Oleh karenanya, sebagai penumpang dari angkutan umum, setiap orang setidaknya mendapatkan rasa aman dalam menggunakan angkutan umum tersebut.
Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1978 tentang Pendirian Perusahaan Negara Asuransi Kerugian Jasaraharja memberikan perlindungan kepada seluruh pengguna angkutan umum dalam bentuk pemberian santunan untuk kondisi-kondisi tertentu ketika terjadi kecelakaan lalu lintas darat. Oleh karena itu, asuransi jasa raharja merupakan suatu asuransi sosial wajib yang diperuntukkan untuk seluruh masyarakat. Asuransi sosial merupakan asuransi wajib, ditegaskan dalam rumusan magee dan Bickrlhaupt. Selain itu, sifat sebagai jaminan sosial serta ruang lingkupnya digambarkan dalam rumusan tersebut. Dari uraian tersebut diatas dapat diketahui pula bahwa adanya kaitan asuransi sosial dengan asuransi pada umumnya.
Tujuan asuransi sosial menurut Emmy Pangaribuan Simanjutak adalah untuk menyediakan suatu bentuk jaminan tertentu kepada seseorang atau anggota masyarakat yang menderita kerugian dalam memperjuangkan hidupnya dan keluarganya, serta diselenggarakannya asuransi sosial berkaitan erat dengan tujuan untuk terciptanya kesejahteraan masyarakat dan berkaitan dengan perlindungan dasar manusia seperti hari tua, sakit, kecelakaan, cacat, meninggal dunia, dan menganggur. PT. Jasa Raharja (Persero) berorientasi pada perasuransian namun konteknya sangat berbeda dengan asuransi yang lainnya, selain jasa raharja berlindung di balik kekuasaan Negara dan selaku Badan Usaha Milik Negara (BUMN), maka cara pemupukan dana sangat jelas sumbernya, sedemikian juga penyalurannya. Dengan demikian maka PT Jasa Raharja (Persero) menggali polis dari sumbangan dan iuran
Hilda Yunita Sabrie dan Rizky Amalia : Karakteristik Hubungan 311
wajib dari pemilik/pengusaha angkutan lalu lintas jalan dan penumpang angkutan unum, sedangkan asuransi lainnya melalui polis yang dipasarkan kepada masyarakat.
Jasa Raharja sebagai Asuransi Sosial Wajib
Asuransi atau pertanggungan, menurut Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya disebut KUHD) didefinisikan sebagai berikut: ”Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu”. Asuransi dalam Pasal 1 (1) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian (selanjutnya disebut dengan UU Perasuransian), didefinisikan sebagai berikut: ”Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk: a. memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
Dalam hukum asuransi kita mengenal berbagai macam istilah, ada yang mempergunakan istilah hukum pertanggungan, dalam bahasa Belanda disebut Verzekering Recht, dan dalam istilah bahasa Inggris disebut Insurance Law, sedangkan dalam praktek sejak zaman Hindia Belanda sampai sekarang banyak
Yuridika: 312 Volume 30, No. 3, Desember 2015
dipakai orang istilah Assuransi (Assurantie).5 Selain pengelompokkan menurut jenis usahanya, usaha asuransi dapat pula dibagi berdasarkan sifat dari penyelenggaraan usahanya menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu: a) Usaha asuransi sosial dalam rangka penyelenggaraan program asuransi sosial yang bersifat wajib (compulsory) berdasarkan undang-undang dan memberikan perlindungan dasar untuk kepentingan masyarakat; dan b) Usaha asuransi komersil dalam rangka penyelenggaraan program asuransi kerugian dan asuransi jiwa yang bersifat kesepakatan (voluntary) berdasarkan kontrak asuransi dengan tujuan memperoleh keuntungan (motif ekonomi).
Dalam asuransi dikenal prinsip-prinsip yang telah diatur dalam KUHD. Prinsip yang pertama adalah prinsip insurable interest, prinsip ini merupakan manifestasi dari syarat sah perjanjian yang ada pada Pasal 1320 (3) BW yaitu suatu hal tertentu. Dalam KUHD, prinsip ini diatur di dalam Pasal 250 KUHD, yang menjelaskan mengenai “pihak yang berkepentingan” sebagai berikut : Apabila seorang yang telah mengadakan pertanggungan untuk dirinya sendiri, atau apabila seorang, yang untuknya telah diadakan suatu pertanggungan, pada saat diadakannya pertanggungan itu tidak mempunyai kepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan itu, maka penanggung tidaklah diwajibkan memberikan ganti rugi. Maka jika disimpulkan, ketentuan diatas mensyaratkan adanya kepentingan dalam mengadakan perjanjian asuransi dengan akibat batalnya perjanjian tersebut apabila pasal ini tidak dipenuhi. Pasal 268 KUHD memberikan penjelasan mengenai syarat-syarat kepentingan yang dapat diasuransikan yaitu dapat dinilai dengan uang, dapat diancam oleh suatu bahaya, dan tidak dikecualikan oleh undang-undang. Pasal ini mempunyai pengertian yang sempit, mengingat kepentingan harus dapat dinilai
5 Abdul Muis, Hukum Asuransi dan Bentuk-Bentuk Perasuransian, Medan: Fakultas Hukum USU, 2005, h.1.
Hilda Yunita Sabrie dan Rizky Amalia : Karakteristik Hubungan 313
dengan uang sedangkan masih ada kepentingan yang tidak dapat dinilai dengan uang misalnya hubungan kekeluargaan, jiwa, istri, anak dan lain-lain.6
Prinsip yang kedua adalah prinsip Indemnity dimana menurut prinsip ini perjanjian asuransi itu bertujuan memberikan ganti rugi terhadap kerugian yang diderita oleh tertanggung yang disebabkan oleh bahaya sebagaimana yang telah ditentukan didalam polis. Pihak penanggung bersedia membayar ganti rugi sebesar nilai kerugian riil yang diderita oleh tertanggung, tidak lebih. Hal ini dapat dikaitkan dengan fungsi asuransi yaitu mengalihkan atau mengurangi risiko yang kemungkinan diderita atau dihadapi oleh tertanggung karena terjadi suatu peristiwa yang tidak pasti. Oleh karena itu besarnya ganti rugi yang diterima oleh tertanggung harus seimbang dengan kerugian yang diderita. Prinsip indemnitas ini diatur salah satunya dalam Pasal 252 KUHD.7
Selain prinsip-prinsip yang telah diuraikan diatas, prinsip ketiga adalah prinsip subrogasi yang diatur dalam Pasal 284 KUHD yakni : Seorang penanggung yang telah membayar kerugian sesuatu barang yang diasuransikan, menggantikan pihak tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhadap orang-orang ketiga berhubung dengan penerbitan kerugian tersebut; dan pihak tertanggung itu yang bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak si penanggung terhadap orang-orang ketiga itu. Subrogasi dalam asuransi, secara umum dapat dijelaskan bahwa kerugian yang diderita oleh tertanggung akan diganti oleh penanggung tetapi jika kerugian tersebut diakibatkan oleh bahaya (risiko) yang ditanggung oleh polis. Jika tertanggung telah memperoleh ganti rugi dari
6 Chairul Huda dan Lukman Hakim, Tindak Pidana Dalam Bisnis Asuransi, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia (LPHI), cetakan pertama, Jakarta, 2006, h.4. dikutip dari M.Suparman dan Endang, Hukum Asuransi (Perlindungan Tertanggung, Asuransi Deposito, Usaha Perasuransian), Bandung: Alumni, 2003, h.55-56.
7 Pasal 252 KUHD yaitu “kecuali dalam hal-hal yang disebutkan dalam ketentuan undang-ungang, maka tidak bolehlah diadakan suatu petanggungan kedua,untuk jangka waktu yang sudah dipertanggungkankan untuk harganya penuh,dan demikian itu atas ancaman batalnya petanggungan kedua tersebut.” Pasal ini menjelaskan bahwa tertanggung tidak diperbolehkan untuk mendapatkan keuntungan dari penanggung atas kerugian yang ia derita kecuali ditentukan lain oleh undang-undang”
Yuridika: 314 Volume 30, No. 3, Desember 2015
penanggung, maka secara yuridis, tertanggung tidak berhak lagi untuk menuntut ganti rugi dari pihak lain, yaitu dari pihak yang bertanggung jawab atas penyebab dari kerugian tersebut.8
Prinsip subrogasi ini tidak dapat diterapkan di dalam perjanjian asuransi jiwa. Sama halnya dengan prinsip indemnitas yaitu dalam perjanjian asuransi jiwa, pembayaran sejumlah uang dari penanggung kepada tertanggung atau penerima manfaat bukanlah merupakan suatu bentuk ganti rugi. Sehingga subrogasi yang dilaksanakan oleh penanggung kepada pihak ketiga di dalam perjanjian asuransi jiwa adalah tidak tepat sebab pihak ketiga tidak menimbulkan suatu kerugian, lagi pula pembayaran uang pertangungan dari penanggung adalah jumlah uang pertangungan yang telah disepakati sebelumnya.
Prinsip yang terakhir adalah prinsip itikad baik. Setiap perjanjian asuransi, harus dilaksanakan dengan itikad baik (Principle of Utmost Good Faith). Pada perjanjian asuransi unsur paling utama adalah unsur saling percaya dimana pihak penanggung percaya bahwa tertanggung akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dalam surat permohonan asuransi sampai dengan permohonan klaim asuransi bila terjadi peristiwa tidak pasti. Sedangkan untuk tertanggung sendiri akan percaya kepada pihak penanggung bahwa jika terjadi peristiwa tidak pasti, nantinya pihak penanggung akan membayar uang pertanggungan. Saling percaya ini dasarnya adalah itikad baik yang ada pada kedua belah pihak (penanggung dan tertanggung). Prinsip itikad baik ini juga merupakan manifestasi dari syarat sahnya perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1320 (1) BW yaitu adanya kata sepakat. prinsip itikad baik ini dapat lebih jelas dilihat pada Pasal 251 KUHD yang terkait dengan kewajiban untuk memberikan keterangan yang sebenarnya.9
8 Djoko Prakoso, Hukum Asuransi Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2004, h. 189.
9 Pasal 251 KUHD menentukan bahwa semua pemberitaan yang salah atau tidak benar atau penyembunyian keadaan-keadaan yang diketahui oleh si tertanggung, betapapun jujurnya itu terjadi pada pihaknya yang bersifat sedemikian rupa sehingga perjanjian tidak akan diadakan atau diadakan dengan syarat-syarat yang sama bilamana penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari benda itu, menyebabkan pertanggungan itu batal.
Hilda Yunita Sabrie dan Rizky Amalia : Karakteristik Hubungan 315
Jenis-jenis asuransi yang telah ada saat ini dapat dibagi menjadi 3 yaitu asuransi jiwa, asuransi kerugian dan asuransi sosial. Pada pokok bahasan ini, penulis meng khususkan untuk membahas asuransi sosial. Salah satu lembaga asuransi yang bergerak dibidang asuransi social wajib adalah Jasa Raharja. Jasa Raharja adalah lembaga asuransi yang menjalankan program asuransi sosial yaitu mengelola dan menyelenggarakan pelaksanaan Dana Wajib Kecelakaan Penumpang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 serta mengelola dan menyelenggarakan pelaksanaan Dana Wajib Kecelakaan Lalu Lintas Jalan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Nomor 34 tahun 1964. Tugas dan Fungsi PT. Jasa Raharja (Persero) adalah Menghimpun dana dari masyarakat dengan cara mengadakan iuran wajib yang di pungut dari penumpang umum dan sumbangan wajib dari pemilik kendaraan bermotor.
Pasal 1 butir (32) UU Perasuransian, dijelaskan bahwa: “Program Asuransi Wajib adalah program yang diwajibkan peraturan perundang-undangan bagi seluruh atau kelompok tertentu dalam masyarakat guna mendapatkan pelindungan dan risiko tertentu, tidak termasuk program yang diwajibkan undang-undang untuk memberikan pelindungan dasar bagi masyarakat dengan mekanisme subsidi silang dalam penetapan manfaat dan Premi atau Kontribusinya.”Oleh karena itu, Asuransi Sosial mempunyai ciri-ciri khusus sebagai berikut: 56
Asuransi Sosial secara umum meliputi: a. Penanggung (biasanya suatu organisasi dibawah wewenang pemerintah); b. Tertanggung (biasanya masyarakat luar anggota/golongan masyarakat tertentu); c. Risiko (suatu kerugian yang sudah diatur dan ditentukan lebih dahulu); d. Wajib (berdasarkan suatu ketentuan undang-undang atau peraturan lain).
Asuransi Kecelakaan Lalu Lintas Jalan merupakan salah satu jenis perlindungan bagi masyarakat yang sifatnya sangat penting. Melalui asuransi kecelakaan lalu lintas jalan, setiap pengendara kendaraan di jalan raya dapat dijamin dari biaya-biaya yang mungkin timbul sebagai akibat dari kecelakaan, serta
Yuridika: 316 Volume 30, No. 3, Desember 2015
keluarganya dapat memperoleh santunan apabila korban kecelakaan meninggal dunia. Asuransi Sosial Kecelakaan Lalu Lintas Jalan termasuk jenis asuransi wajib (compulsory insurance), dikatakan asuransi wajib karena: a. Berlakunya Asuransi Sosial Kecelakaan Lalu Lintas Jalan ini di wajibkan oleh undang-undang bukan berdasarkan perjanjian; b. Pihak penyelenggara asuransi ini adalah pemerintah yang di delegasikan kepada Badan Usaha Milik Negara ( Pasal 5 Undang-undang Nomor 34 Tahun 1964); c. Asuransi Sosial Kecelakaan Lalu Lintas Jalan bermotif perlindungan masyarakat (social security), yang dananya dihimpun dari masyarakat dan di gunakan untuk kepentingan masyarakat yang diancam bahaya lalu lintas jalan; dan d. Dana yang sudah terkumpul dari masyarakat, tetapi belum digunakan sebagai dana kecelakaan lalu lintas jalan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat melalui program investasi.
Dasar hukum pelaksanaan Asuransi Kecelakaan Lalu Lintas Jalan adalah Undang-undang Nomor 34 Tahun 1964 jo Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan, dimana dalam undang-undang tersebut lingkup jaminannya yaitu : a. Korban Yang Berhak Atas Santunan, adalah pihak ketiga yaitu : 1) Setiap orang yang berada di luar angkutan lalu lintas jalan yang menimbulkan kecelakaan yang menjadi korban akibat kecelakaan dari penggunaan alat angkutan lalu lintas jalan tersebut, contoh : Pejalan kaki ditabrak kendaraan bermotor; 2) Setiap orang atau mereka yang berada di dalam suatu kendaraan bermotor dan ditabrak, dimana pengemudi kendaran bermotor yang ditumpangi dinyatakan bukan sebagai penyebab kecelakaan, termasuk dalam hal ini para penumpang kendaraan bermotor dan sepeda motor pribadi; b. Tabrakan Dua atau Lebih Kendaraan Bermotor: 1) Apabila dalam laporan hasil pemeriksaan Kepolisian dinyatakan bahwa pengemudi yang mengalami kecelakaan merupakan penyebab terjadinya kecelakaan, maka baik pengemudi mapupun penumpang kendaraan tersebut tidak terjamin dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 jo Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965; 2) Apabila dalam kesimpulan hasil pemeriksaan pihak Kepolisian belum diketahui pihak-pihak pengemudi yang menjadi penyebab
Hilda Yunita Sabrie dan Rizky Amalia : Karakteristik Hubungan 317
kecelakaan dan atau dapat disamakan kedua pengemudinya sama-sama sebagai penyebab terjadinya kecelakaan, pada prinsipnya sesuai dengan ketentuan Undang- Undang Nomor 34 Tahun 1964 jo Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 santunan belum dapat diserahkan atau ditangguhkan sambil menunggu Putusan Hakim/Putusan Pengadilan; c. Kasus Tabrak Lari, terlebih dahulu dilakukan penelitian atas kebenaran kasus kejadiannya; d. Kecelakaan Lalu Lintas Jalan Kereta Api: 1) Berjalan kaki di atas rel atau jalanan kereta api dan atau menyebrang sehingga tertabrak kereta api serta pengemudi/penumpang kendaraan bermotor yang mengalami kecelakaan akibat lalu lintas perjalanan kerata api, maka korban terjamin Undang-Undang Nomor 34 Tahun1964; 2) Pejalan kaki atau pengemudi/penumpang kendaraan bermotor yang dengan sengaja menerobos palang pintu kereta api yang sedang difungsikan sebagaimana lazimnya kerata api akan lewat, apabila tertabrak kereta api maka korban tidak terjamin oleh Undang-Undang Nomor 34 Tahun1964.
Selain Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 jo Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 tersebut, di dalam pemberian besarnya santunan Asuransi Kecelakaan Lalu Lintas Jalan juga diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 36/PMK.010/2008 tentang Besar Santunan dan Sumbangan Wajib Kecelakaan Lalu Lintas Jalan Menteri Keuangan Republik Indonesia, di mana besarnya santunannya di dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 36/PMK.010/2008 disebutkan : a. Ahli waris dari korban yang meninggal dunia berhak memperoleh santunan sebesar Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah); b. Korban yang mengalami cacat tetap berhak memperoleh santunan yang besarnya dihitung berdasarkan angka prosentase sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 dari besar santunan meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam huruf (a); c. Korban yang memerlukan perawatan dan pengobatan berhak memperoleh santunan berupa penggantian biaya perawatan dan pengobatan dokter paling besar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Yuridika: 318 Volume 30, No. 3, Desember 2015
Hubungan Hukum dalam Asuransi Jasa Raharja dengan Korban Kecelakaan Angkutan Umum
Asuransi jasa rahrja merupakan asuransi sosial, dimana asuransi tersebut diberikan kepada setiap pengguna angkutan umum. Adanya asuransi jasa raharja tersebut melahirkan hubungan hukum antara jasa raharja dengan penumpang angkutan umum. Hubungan hukum tersebut bersumber dari perikatan diantara kedua belah pihak. Perikatan adalah hubungan yang terjadi diantara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib berprestasi. Unsur-unsur perikatan antara lain hubungan hukum, harta kekayaan, para pihak, dan prestasi. Subyek perikatan yaitu subyek hukum dimana mereka adalah pendukung hak dan kewajiban. Obyek dari perikatan adalah prestasi, yaitu debitur berkewajiban atas suatu prestasi dan kreditur berhak atas suatu prestasi.10 Wujud prestasi berdasarkan Pasal 1234 BW yaitu memberi sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu.
Perikatan lahir karena adanya suatu perjanjian atau undang-undang, hal ini sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 1233 BW yang menyatakan bahwa: “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang.” Dengan demikian adanya suatu perikatan itu lahir dari adanya suatu perjanjian yang mengikat para pembuatnya dan juga lahir dari undang-undang. Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan. Perikatan yang bersumber dari perjanjian mempunyai suatu ciri dimana perikatan itu timbul karena adanya hubungan kontraktual yang disepakati para pihak dan sengaja dibuat oleh para pihak.Hal ini dimaksudkan bahwa perikatan tersebut ditimbulkan karena adanya hubungan kontraktual yang sengaja dibuat dan disepakati oleh para pihak. Menurut Pasal 1313 BW, “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Namun, Agus Yudha Hernoko melengkapi pengertian atau kontrak dari definisi Pasal 1313 BW yang kurang kompeherensif tersebut, beliau
10 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, 1994, h. 3.
Hilda Yunita Sabrie dan Rizky Amalia : Karakteristik Hubungan 319
mengatakan bahwa “…pengertian kontrak atau perjanjian adalah perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.11 Subekti memberikan pengertian suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.12 Apabila dua orang mengadakan suatu perjanjian, maka mereka bermaksud supaya antara mereka berlaku suatu perikatan hukum. Sungguh-sungguh mereka itu terikat satu sama lain karena janji yang telah mereka berikan.13 Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itu, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Kedua belah pihak dapat berupa naturlijk persoon atau manusia pribadi dan recht persoon atau badan hukum. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Suatu aturan atau norma pada hakikatnya mempunyai dasar filosofis serta pijakan asas atau prinsip sebagai rohnya.14 Niewenhuis menyebutkan prinsip-prinsip hukum kontrak beserta pengecualiannya yakni15 : a. Asas kebebasan berkontrak (menurut bentuk dan isi) dengan perkecualian kontrak-kontrak formal dan riil (bentuk) dan syarat kausa yang diperbolehkan (isi); b. Asas daya mengikat kontrak (perkecualian daya pembatas itikad baik dan overmacht); c. Asas bahwa perjanjian hanya menciptakan perikatan diantara para pihak yang berkontrak (perkecualian janji demi kepentingan pihak ketiga). Kemudian berdasarkan pendapat M. Isnaeni16 yang dikutip oleh Agus Yudha Hernoko, memberikan beberapa prinsip sebagai tiang penyangga dari hukum kontrak :a. Prinsip Kebebasan Berkontrak; b. Prinsip Pacta
11 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Surabaya: Laksbang Mediatama, 2008, h. 16.
12 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2005, h.1.
13 Ibid, h. 3
14Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., h.21.
15 J.H. Niewenhuis, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, h. 63-72.
16 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., h. 105
Yuridika: 320 Volume 30, No. 3, Desember 2015
Sunt Servanda; c. Prinsip Kesederajatan; d. Prinsip Privity of Contract; e. Prinsip Konsensualisme; f. Prinsip Itikad Baik.
Prinsip kebebasan berkontrak atau freedom of contract dimaksudkan bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja dan dengan siapa saja. Ketentuan tentang asas ini disebutkan di dalam Pasal 1338 ayat (1) BW yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pasal-pasal dari hukum perjanjian hanya berlaku apabila atau sekadar kita tidak mengadakan aturan-aturan sendiri dalam perjanjian-perjanjian yang kita adakan itu.17 Titik tolak perkembangan prinsip ini berawal dari abad 18 dan 19 dalam masa dimana ajaran hukum alam dan filosofi laissez faire begitu dominan.18 Dalam era ini, konsep klasik kebebasan berkontrak meliputi 2 hal, yaitu kontrak di dasarkan pada persetujuan dan kontrak merupakan hasil dari pilihan kebebasan.19 Para pihak diberi kebebasan membuat bentuk kontrak apa saja, dengan formal apa saja (tertulis, tidak tertulis, akta, elektronik, adhesi, sepihak, dst), dan dengan para pihak siapa saja. Prinsip kebebasan berkontrak atau freedom of contract merupakan asas yang bersifat universal, berlaku tidak hanya secara hukum nasional melainkan ketentuan hukum internasional juga mengaturnya.20 Namun seiring perkembangan kehidupan masyarakat, maka mempengaruhi pula penerapan dari prinsip kebebasan berkontrak, sehingga terdapat pembatasan prinsip kebebasan berkontrak, yakni :21 a. berkembangnya doktin itikad baik; b. berkembangnya doktrin penyalahgunaan keadaan; c. makin banyaknya kontrak baku; d. berkembangnya hukum ekonomi. Bagaimanapun juga terlepas dari pembatasan prinsip kebebasan berkontrak, maka esensi dari prinsip kebebasan berkontrak yang merupakan prinsip dasar hukum
17 Subekti, Op.Cit, h. 14
18 Y.Sogar Simamora, Buku Ajar Teknik Perancangan Kontrak, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2006, h.11
19 Ibid.
20 Ayu Caesara Alifia Yunus, Aspek Kontraktual dalam Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa oleh Subsidiary Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
21 Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Bandung: Alumni, 1992, h. 179-180.
Hilda Yunita Sabrie dan Rizky Amalia : Karakteristik Hubungan 321
kontrak dimana posisi tawar (bargaining position) para pihak bersifat setara dan proporsional sehingga pola ini menempatkan para pihak sebagai partner kontrak dalam pertukaran kepentingan mereka.22
Itikad baik berasal dari bahasa hukum romawi Bona fides yang berarti bonus adalah tulus dan baik, lalu fides adalah kepercayaan pada kebijakan seseorang. Maka hakekat dari Bona fides adalah berbuat baik, jujur dan tulus serta mengutamakan kepatutan.23 Salah satu prinsip yang batasannya sulit untuk ditentukan. Prinsip itikad baik tertuang dalam Pasal 1338 ayat (3) BW yang menekankan adanya keharusan bagi para pihak untuk melaksanakan kontrak dengan itikad baik. Sejalan dengan perkembangan zaman, ketentuan ini ditafsir secara luas (extensive interpretation) yang kemudian menghasilkan ketentuan bahwa itikad baik tidak saja berlaku pada tahap pelaksanaan, tetapi juga pada tahap penandatanganan dan tahap sebelum ditutupnya perjanjian (pre-contractual fase).24 Penerapan prinsip itikad baik harus dimaknai bahwa dilakukan pada semua proses kontraktual yang dimulai pada pra-kontraktual, kontraktual dan pasca kontraktual. Maka dalam hal ini para pihak dalam menjalankan aktivitas bisnisnya tidak boleh merugikan pihak lain, memanfaatkan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri sendiri.25 Pengaturan prinsip itikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) yakni suatu kontrak harus dilaksanakan itikad baik. Bahwa prinsip itikad baik merupakan kewajiban kontraktual dan para pihak berdasarkan pasal tersebut dituntut untuk melaksanakan kontrak seperti yang seharusnya dilakukan berdasarkan kepatutan dan keadilan.
Prinsip konsensualisme berasal dari kata consensus yang berarti sepakat.26 Prinsip konsesualisme diartikan bahwa setiap perjanjian hanya terbentuk jika antara kedua belah pihak terdapat konsensus atau kesepakatan. Dalam Pasal 1338 BW dinyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
22 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., h. 116
23 Soetojo Prawirohadmidjojo, Pelaksanaan Itikad Baik, Perkembangan dan Dinamika Hukum Perdata Indonesia, Surabaya: Lutfansah Mediatama, 2009, h. 1-2.
24Y. Sogar Simamora, Op.Cit, h. 13
25 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., h. 143.
26 Subekti, Op. Cit.,h. 15.
Yuridika: 322 Volume 30, No. 3, Desember 2015
undang bagi mereka yang membuatnya”. Penandatanganan suatu perjanjian kerja oleh pekerja tidak berarti kontrak yang bersangkutan demi hukum sah dan mengikat. Hal ini harus diuji dengan alat uji keabsahan kontrak yaitu Pasal 1320 BW. Dalam mencapai suatu kesepakatan, menurut Mariam Darus Badrulzaman terdapat suatu keinginan, kemauan (will) untuk mengikatkan diri. Hal ini sesuai dengan asas konsensualisme yang berarti terbentuknya suatu kontrak apabila telah terjadi kesepakatan dan tidak diperlukan suatu formalitas seperti akta notarial dan harus tertulis untuk beberapa hal tertentu.27
Pasal 1340 ayat (1) BW menyatakan “suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”. Dari rumusan pasal tersebut, prinsip privity of contract tercermin dari suatu kontrak hanya mengikat para pihak yang tercantum dalam kontrak tersebut. Para pihak diluar kontrak tidak berlaku dan mengikat terhadap kontrak. Selanjutnya mengenai prinsip proporsionalitas merupakan prinsip dalam hukum kontrak yang memiliki hubungan dengan penerapan prinsip keseimbangan dan keadilan. Berdasarkan pendapat filsuf besar Aristoteles justice consist in treating equals equally and unequals unequally, in proportion to their inquality28, dari pendapat tersebut maka tercerminlah suatu hubungan proporsionalitas dan keadilan. Berikut deskripsi fungsi prinsip proporsionalitas dalam tahapan kontrak29: a. Pra Kontrak, prinsip proporsionalitas membuka peluang negosiasi bagi para pihak untuk melakukan pertukaran hak dan kewajiban secara fair; b. Pembentukan Kontrak, prinsip proporsionalitas menjamin kesetaraan hak dan kebebasan dalam mengatur/menentukan proporsi hak dan kewajiban para pihak berlangsung secara fair; c. Pelaksanaan Kontrak, prinsip proporsionalitas, menjamin terwujudnya distribusi pertukaran hak dan kewajiban menurut proporsi yang disepakati para pihak; d. Kegagalan Pelaksanaan Kontrak, Penilaian harus dilaksanakan secara proporsionalitas apakah kegagalan bersifat fundamental sehingga
27 Ibid.
28 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit.,h. 84
29 Ibid, h. 101.
Hilda Yunita Sabrie dan Rizky Amalia : Karakteristik Hubungan 323
menganggu pelaksanaan sebagian kontrak; e. Sengketa Kontrak, Beban pembuktian harus dibagi menurut pembuktian yang fair. Dari uraian tersebut di atas, maka prinsip proporsionalitas digunakan sebagai batu uji atau parameter dalam pertukaran kepentingan para pihak pada semua tahapan kontrak.
Selain bersumber dari perjanjian, perikatan juga dapat lahir dari undang-undang. Di dalam perikatan yang lahir dari undang-undang, asas kebebasan mengadakan perjanjian tidak berlaku. Suatu perbuatan menjadi perikatan adalah karena kehendak undang-undang.30 Perikatan yang lahir dari undang-undang terlepas dari kemauan para pihak. Apabila ada suatu perbuatan hukum, yang memenuhi beberapa unsur tertentu, undang-undang lalu menetapkan perbuatan hukum itu adalah suatu perikatan.31 Pasal 1352 BW menyebutkan bahwa: “Perikatan-perikatan yang dilahirkan demi undang-undang, timbul dari undang-undang saja atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang”.
Dalam suatu perjanjian asuransi terdapat dua pihak yang saling mengikatkan diri yaitu pihak penanggung dan pihak tertanggung. Penanggung adalah pihak terhadap siapa diperalihkan risiko yang seharusnya dipikul sendiri oleh tertanggung karena menderita kerugian sebagai akibat dari suatu peristiwa yang tidak tertentu. Risiko ini hanya diperalihkan kepadanya berdasarkan adanya premi yang juga dinikmatinya, jadi pihak penanggung mengikatkan dirinya untuk menanggung risiko apabila ia menikmati suatu premi. penanggung harus berbentuk perusahaan badan hukum berupa PT, Perseroan, Koperasi. Pihak Tertanggung adalah orang-orang yang berkepentingan dalam mengadakan perjanjian asuransi sebagai pihak yang berkewajiban untuk membayar premi kepada penanggung, sekaligus atau berangsur-angsur. Dengan tujuan akan mendapat penggantian suatu kerugian yang mungkin akan ia derita sebagai akibat dari suatu peristiwa yang semula belum tentu terjadi. tertanggung dapat berstatus sebagai perseorangan, persekutuan atau badan hukum dan
30 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001, h. 97
31 Ibid.
Yuridika: 324 Volume 30, No. 3, Desember 2015
harus pihak yang berkepentingan atas obyek yang diasuransikan. Hubungan hukum antara pihak penanggung dengan pihak tertanggung lahir dari adanya suatu perjanjian asuransi yang telah dibuat oleh para pihak. Untuk sayarat sahnya perjanjian asuransi juga merujuk pada ketentuan umum syarat sah perjanjian yaitu Pasal 1320 BW.
Karakteristik hubungan hukum yang lahir dari perjanjian melekat pada asuransi yang sifatnya bukan sosial, tetapi asuransi yang sengaja dibuat para pihak dengan kesepakatan-kesepakatan yang telah terbentuk diantara kedua belah pihak. Berbeda halnya dengan asuransi sosial, dalam hal ini asuransi jasa raharja yang sumber perikatan diantara pihak penanggung yang dalam hal ini adalah jasa raharja dengan pihak tertanggung yaitu pengguna angkutan umum bersumber dari undang-undang. Hal ini dikarenakan, asuransi jasa raharja diperuntukkan terhadap siapa saja yang menggunakan jasa angkutan umum. Pihak jasa raharja selaku penanggung mempunyai prestasi dalam hal pertanggungan jika terjadi risiko kecelakaan pada penumpang angkutan umum. Sebaliknya, dengan pembayaran karcis angkutan umum maka penumpang juga sudah melakukan kewajiban pembayaran premi selaku pihak tertanggung. Inilah yang menjadi perbedaan karakteristik hubungan hukum dalam asuransi jasa raharja bila dibandingkan dengan perjanjian asuransi yang bersifat umum. Prestasi-prestasi kedua belah pihak diikat dalam suatu perjanjian dimana pemenuhan presatsi tersebut merupakan kewajiban para pihak sesuai dengan isi perjanjian.
Asuransi jasa raharja diberikan sebagai perwujudan pemerintah dalam upaya memberikan perlindungan terhadap warga negaranya. Pihak-pihak dalam asuransi kecelakaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 dan 34 Tahun 1964 adalah sebagai berikut: 1. Pengusaha/pemilik alat angkutan lalu lintas jalan atau alat angkutan penumpang di darat, laut maupun udara sebagai pihak yang diwajibkan membayar premi; 2. Perusahaan Negara yang ditunjuk oleh menteri keuangan khusus untuk itu sebagai penanggung, menjalankan hak sebagai penerima premi dan menjalankan kewajiban sebagai pembayar santunan, dimana sebagai pelaksananya adalah PT (persero) asuransi kerugian Jasa Raharja; 3. Masyarakat/setiap orang yang
Hilda Yunita Sabrie dan Rizky Amalia : Karakteristik Hubungan 325
menjadi korban kecelakaan angkutan umum/penumpang di darat, laut maupun udara dan korban kecelakaan lalu lintas jalan sebagai tertanggung (penerima santunan). Penegasan dalam UU Nomor 33 dan 34 Tahun 1964 yang menyatakan bahwa pihak tertanggung dalam asuransi kecelakaan yang merupakan produk dari asuransi jasa raharja ini merupakan salah satu cirri adanya suatu hubungan hukum tersebut tidak termasuk dalam ruang lingkup perjanjian. Sifat dari perjanjian hanya mengikat pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut. Pihak penanggung hanya akan memberikan pertanggungan kepada pihak tertanggung jika pihak tertanggung sudah melakukan pembayaran premi yang menjadi salah satu kewajibannya. Tetapi dalam asuransi jasa raharja pemungutan premi tidak berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak melainkan sudah diatur dalam undang-undang. Inilah yang menjadi karaktersitik pembeda antara asuransi jasa raharja sebagai asuransi social wajib dengan asuransi lainnya.
Penutup
Asuransi merupakan sarana pengalihan resiko atas kemungkinan peristiwa tidak pasti yang dapat saja di alami oleh setiap orang. Dalam lalu lintas angkutan darat, seringkali penumpang merasa dirugikan karena ulah dari sopir angkutan umum yang tidak mentaati aturan lalu lintas. Sehingga akhirnya, hal tersebut menjadi salah satu faktor kecelakaan dalam angkutan umum. Untuk mengatasi atau memperkecil resiko dari penumpang tersebut maka Pemerintah dalam hal ini membentuk lembaga asuransi yang bernama Jasa Raharja, dimana tugas dan fungsinya antara lain adalah memberikan jaminan dan/atau santunan dalam hal kecelakaan lalu lintas darat, yang dalam pokok bahasan ini juga menyangkut angkutan umum darat.
Terdapat beberapa karakteristik yang ada dalam asuransi sosial wajib, yang pertama konsensuil yaitu terjadi kesepakatan antara tertanggung dan penanggung dalam suatu hal tertentu. Untuk penumpang yang menggunakan angkutan umum, hal in dapat di lihat dari serangkaian peristiwa ketika penumpang membeli tiket atau karcis angkutan umum, membayar harga kemudian menaiki angkutan umum tersebut.
Yuridika: 326 Volume 30, No. 3, Desember 2015
Dari serangkaian peristiwa tersebut secara implisit penumpang telah sepakat untuk mengikuti asuransi sosial wajib (Jasa raharja). Kedua yaitu Timbal Balik / Obligatoir yaitu masing-masing pihak harus melaksanakan kewajibannya sesuai dengan tugas dan fungsi yang telah di atur di peraturan perundang-undangan. Selanjutnya yang ketiga adalah Itikad Baik, dimana setiap pihak harus memiliki itikad baik dalam menjalanjkan kewajibannya. Keempat, Sosial (wajib) yaitu hubungan hukum lahir karena undang-undang dan bukan karena perjanjian. Kelima Penanggung dalam hal ini Asuransi Jasaraharja berperan Pasif, tidak akan melakukan upaya apapun kecuali terdapat laporan dari korban kecelakaan lalu lintas jalan. Selanjutnya adalah Tertanggung (pengguna jalan) berperan aktif atau hanya korban yang paham haknya yang akan mengajukan klaim ketika terjadi kecelakaan lalu lintas jalan. Ketujuh adalah Jumlah manfaat yang diterima sudah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan kondisi korban kecelakaan lalu lintas jalan. Kedelapan adalah terkait Istilah Premi diganti menjadi iuran wajib dan SWDKLLJ dan yang terakhir adalah Tidak ada polis, sebagai alat bukti bila terjadi peristiwa tidak pasti sesuai di Pasal 1866 BW . Hal ini karena semua hak dan kewajiban dari pihak jasa raharja dan korban kecelakaan lalu lintas sudah jelas di atur di peraturan perundang-undangan.
Daftar Pustaka
Buku
Badrulzaman, Mariam Darus, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001.
Endang, dan M.Suparman, Hukum Asuransi Perlindungan Tertanggung, Asuransi Deposito, Usaha Perasuransian, Bandung: Alumni, 2003.
Hakim, Lukman, dan Chairul Huda, Tindak Pidana Dalam Bisnis Asuransi, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia (LPHI), cetakan pertama, Jakarta, 2006.
Hilda Yunita Sabrie dan Rizky Amalia : Karakteristik Hubungan 327
Hernoko, Agus Yudha, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Surabaya: Laksbang Mediatama, 2008.
Muis, Abdul, Hukum Asuransi dan Bentuk-Bentuk Perasuransian, Medan: Fakultas Hukum USU, 2005.
Niewenhuis, J.H., Pokok-Pokok Hukum Perikatan.
Patrik, Purwahid, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, 1994.
Prakoso, Djoko, Hukum Asuransi Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Prawirohadmidjojo, Soetojo, Pelaksanaan Itikad Baik, Perkembangan dan Dinamika Hukum Perdata Indonesia, Surabaya: Lutfansah Mediatama, 2009.
Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Bandung: Alumni, 1992.
Simamora, Y.Sogar, Buku Ajar Teknik Perancangan Kontrak, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2006.
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2005.
Peraturan Perundang-Undangan
BURGERLIJK WETBOEK (BW)
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM DAGANG (KUHD)
Yuridika: 328 Volume 30, No. 3, Desember 2015
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 Tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 Pendirian Perusahaan Negara Asuransi Kerugian Jasaraharja
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1978 Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1978 tentang Pendirian Perusahaan Negara Asuransi Kerugian Jasaraharja
Website
www.id.wikipedia.org
www.jasaraharja.co.id

0 komentar:

Posting Komentar

SISTEM INFORMASI PEGAWAI BERBASIS WEB SMA YAYASAN WANITA KERETA API (YWKA) PALEMBANG DENGAN METODE RAPID APPLICATION DEVELOPMENT (RAD)

SISTEM INFORMASI PEGAWAI BERBASIS WEB SMA YAYASAN WANITA KERETA API (YWKA) PALEMBANG DENGAN METODE RAPID APPLICATION DEVELOPMENT (RAD) ...